CERAI, itulah satu kata yang selayaknya tak terucap dari istri atau suami.
Namun ketika pertengkaran demi pertengkaran terjadi dan amarah
membuncah, satu kata yang “diharamkan” ini sepertinya mudah sekali
dilontarkan.
Waduh! Apa sebenarnya yang memicu seseorang mudah berkata cerai? Bagaimana menghadapi pasangan seperti ini?
Menurut Dr Adriana S Ginanjar
MS, Kordinator Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia,
ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan kata cerai dengan ringan
diucapkan. Pertama, kebiasaan masa pacaran yang terbawa terus hingga
menikah.
“Banyak pasangan ketika pacaran sering kali jika ada
masalah bukannya dibicarakan baik-baik tapi langsung bilang putus,”
katanya.
Adriana, sebagai konselor pernikahan mengatakan bahwa
pihak laki-laki sebagai suami lebih berhati-hati dalam mengucap kata
cerai dibandingkan perempuan.
“Beberapa suami yang datang
berkonsultasi mengaku kalau pernyataan cerai dari istri itu sangat
menyakitkan. Karena terasa sebagai satu bentuk penolakan. ‘Kalau
bercerai saya merasa seperti sudah tidak ada gunanya, tidak minat apapun
pada saya’ begitu yang diakui mereka. Sebaliknya, jika pihak laki-laki
yang mudah berucap cerai biasanya si perempuan akan bertahan dulu,
menelan rasa sakit, menekannya, hingga baru kemudian meledak,” papar
Adriana.
Si Pemarah
Tak
dapat dipungkiri ada orang-orang tertentu yang kecenderungannya
sedikit-sedikit bilang cerai. Padahal, masalah yang mereka hadapi tidak
besar. Mungkin sebetulnya tidak ada niat ke arah itu, hanya sebagai
bentuk dari kemarahannya saja. Pribadi yang seperti ini adalah tipe
pemarah. Kata cerai diucapkan karena sudah frustasi dengan
pertengkaran-pertengkaran yang terjadi.
Bahkan menurut Adriana
lagi, terkadang bukan cuma kata cerai yang terlontar namun juga rentetan
kata-kata menyakitkan, seperti ungkitan-ungkitan kejadian masa lalu,
baik menyangkut pasangan maupun keluarganya.
Tipe pemarah
biasanya adalah sosok yang tidak sabaran, selalu menyalahkan orang lain,
sulit introspeksi diri, mudah putus asa, dan tidak berpikir bahwa
pernikahan itu membutuhkan komitmen.
“Mereka yang mudah bilang
cerai biasanya hanya melihat dari banyak ketidakcocokan dalam
pernikahan mereka. Biasanya mereka berasal dari latarbelakang yang
selalu diistimewakan oleh keluarganya. Misalnya, anak semata wayang yang
selau jadi anak emas orangtuanya. Ketika dia harus mengalah dan toleran
dalam pernikahan, dia menolak dan lebih memilih cerai,” jelas psikolog
yang menamatkan S2-nya pada program Marriage and Family Therapy di
Purdue University, West Lafayette, Amerika Serikat.
Menariknya,
dalam kasus-kasus khusus motivasi, orang yang mudah berkata cerai adalah
demi kebutuhan mendapatkan perhatian. Tipe seperti ini biasanya akan
royal sekali mengumbar kata cerai meski pada akhirnya tidak benar-benar
bercerai karena kebutuhannya lebih pada perhatian.
Komitmen dan Toleransi
Apa
yang harus kita lakukan ketika menghadapi pasangan sering mengumbar
kata cerai? “Kata cerai itu seharusnya tidak diucapkan sama sekali kalau
memang tidak ada niat ke sana,” jawab Adriana.
Perempuan yang
juga menulis sebuah buku berjudul “Pelangi di Akhir Badai, Mengungkap,
Menghadapi, dan Memaafkan Perselingkuhan Suami” ini lebih lanjut
mengatakan bahwa orang-orang yang tidak mudah berkata cerai, ketika satu
waktu mengamini keinginan pasangannya untuk bercerai berarti di
kepalanya sudah terbentuk niat tersebut. Jadi, hal yang harus diingat
dan dikuatkan adalah pondasi komitmen perkawinan. Perkawinan memang
naik-turun. Tak ada yang pernah mengalami perkawinannya dalam kondisi
baik terus.
“Masalah adalah bagian dari perkawinan itu sendiri. Introspeksi bahwa kita sendiri juga punya kesalahan,” ujar Adriana.
Menurutnya,
lihat seberapa besar masalah yang dihadapi. Jika memang sangat besar,
cari cara untuk menyelesaikannya. Jika tidak mampu mengatasinya sendiri,
Anda butuh bantuan orang lain seperti psikolog atau ahli agama. Minta
maaf secara terbuka pada pasangan. Sebagai catatan, ada masalah-masalah
tertentu dalam perkawinan yang memang tidak dapat dipaksakan untuk
diatasi, tetapi harus ditoleransi. Misalnya, kebiasaan suami yang suka
mencandai istri di depan umum padahal istri tidak suka sama sekali akan
hal itu. Suami musti mengurangi kadarnya, sang istri juga mulai
membiasakan diri dengan selera humor sang suami tersebut.
“Masalah yang seperti itu kadang membuat frustasi, tapi kita tidak dapat
memaksa pasangan untuk berubah. Itu artinya Anda harus toleransi dan
menerimanya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar