Kamis, 08 November 2012

Jangan obral kata putus dan cerai

CERAI, itulah satu kata yang selayaknya tak terucap dari istri atau suami. Namun ketika pertengkaran demi pertengkaran terjadi dan amarah membuncah, satu kata yang “diharamkan” ini sepertinya mudah sekali dilontarkan.

Waduh
! Apa sebenarnya yang memicu seseorang mudah berkata cerai? Bagaimana menghadapi pasangan seperti ini?  


Menurut Dr Adriana S Ginanjar MS,  Kordinator Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan kata cerai dengan ringan diucapkan. Pertama, kebiasaan masa pacaran yang terbawa terus hingga menikah.

“Banyak pasangan ketika pacaran sering kali jika ada masalah bukannya dibicarakan baik-baik tapi langsung bilang putus,” katanya.

Adriana, sebagai konselor pernikahan mengatakan bahwa pihak laki-laki sebagai suami lebih berhati-hati dalam mengucap kata cerai dibandingkan perempuan.

“Beberapa suami yang datang berkonsultasi mengaku kalau pernyataan cerai dari istri itu sangat menyakitkan. Karena terasa sebagai satu bentuk penolakan. ‘Kalau bercerai saya merasa seperti sudah tidak ada gunanya, tidak minat apapun pada saya’ begitu yang diakui mereka. Sebaliknya, jika pihak laki-laki yang mudah berucap cerai biasanya si perempuan akan bertahan dulu, menelan rasa sakit, menekannya, hingga baru kemudian meledak,” papar Adriana.

Si Pemarah

Tak dapat dipungkiri ada orang-orang tertentu yang kecenderungannya sedikit-sedikit bilang cerai. Padahal, masalah yang mereka hadapi tidak besar. Mungkin sebetulnya tidak ada niat ke arah itu, hanya sebagai bentuk dari kemarahannya saja. Pribadi yang seperti ini adalah tipe pemarah. Kata cerai diucapkan karena sudah frustasi dengan pertengkaran-pertengkaran yang terjadi.

Bahkan menurut Adriana lagi, terkadang bukan cuma kata cerai yang terlontar namun juga rentetan kata-kata menyakitkan, seperti ungkitan-ungkitan kejadian masa lalu, baik menyangkut pasangan maupun keluarganya.

Tipe pemarah biasanya adalah sosok yang tidak sabaran, selalu menyalahkan orang lain, sulit introspeksi diri, mudah putus asa, dan tidak berpikir bahwa pernikahan itu membutuhkan komitmen.

“Mereka yang mudah bilang cerai biasanya hanya melihat dari banyak ketidakcocokan  dalam pernikahan mereka. Biasanya mereka berasal dari latarbelakang yang selalu diistimewakan oleh keluarganya. Misalnya, anak semata wayang yang selau jadi anak emas orangtuanya. Ketika dia harus mengalah dan toleran dalam pernikahan, dia menolak dan lebih memilih cerai,” jelas psikolog yang menamatkan S2-nya pada program Marriage and Family Therapy di Purdue University, West Lafayette, Amerika Serikat.

Menariknya, dalam kasus-kasus khusus motivasi, orang yang mudah berkata cerai adalah demi kebutuhan mendapatkan perhatian. Tipe seperti ini biasanya akan royal sekali mengumbar kata cerai meski pada akhirnya tidak benar-benar bercerai karena kebutuhannya lebih pada perhatian.

Komitmen dan Toleransi

Apa yang harus kita lakukan ketika menghadapi pasangan sering mengumbar kata cerai? “Kata cerai itu seharusnya tidak diucapkan sama sekali kalau memang tidak ada niat ke sana,” jawab Adriana.

Perempuan yang juga menulis sebuah buku berjudul “Pelangi di Akhir Badai, Mengungkap, Menghadapi, dan Memaafkan Perselingkuhan Suami” ini lebih lanjut mengatakan bahwa orang-orang yang tidak mudah berkata cerai, ketika satu waktu mengamini keinginan pasangannya untuk bercerai berarti di kepalanya sudah terbentuk niat tersebut. Jadi, hal yang harus diingat dan dikuatkan adalah pondasi komitmen perkawinan. Perkawinan memang naik-turun. Tak ada yang pernah mengalami perkawinannya dalam kondisi baik terus.

“Masalah adalah bagian dari perkawinan itu sendiri. Introspeksi bahwa kita sendiri juga punya kesalahan,” ujar Adriana.

Menurutnya, lihat seberapa besar masalah yang dihadapi. Jika memang sangat besar, cari cara untuk menyelesaikannya. Jika tidak mampu mengatasinya sendiri, Anda butuh bantuan orang lain seperti psikolog atau ahli agama. Minta maaf secara terbuka pada pasangan. Sebagai catatan, ada masalah-masalah tertentu dalam perkawinan yang memang tidak dapat dipaksakan untuk diatasi, tetapi harus ditoleransi. Misalnya, kebiasaan suami yang suka mencandai istri di depan umum padahal istri tidak suka sama sekali akan hal itu. Suami musti mengurangi kadarnya, sang istri juga mulai membiasakan diri dengan selera humor sang suami tersebut.

“Masalah yang seperti itu kadang membuat frustasi, tapi kita tidak dapat memaksa pasangan untuk berubah. Itu artinya Anda harus toleransi dan menerimanya."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar